Sabtu, 17 November 2012

you've said that

You said you like beach
You like to go to the beach
Just to have a sleep there
You close your eyes while listen to the pounding waves
You said you like to spend your time doing that
You can forgot things and it's just you and the nature

Kamis, 27 September 2012

Don't Ever Forget

Sekarang gw bener-bener butuh lo dan lo ke mana?
Gw sadar, ya udah lah, sekarang lo emang ga ada
Oke lah kalo kenyataannya emang begitu
Sekarang gw ga bakal minta macem-macem dari lo
Gw cuma minta satu hal, "jangan pernah lupa"

and here I post a song from Daft Punk, Something About Us
Don't know why but I just feel right to accompany this post with this song


Jumat, 31 Agustus 2012

Not An Option

I've done many things
I've learned many things
I keep busying myself
I did it

Suddenly, I feel incomplete
Everything's changed
This shouldn't happened
Hating you is not an option

new day comes, the sun is gonna rise (image source by google)

Kamis, 09 Agustus 2012

This beautiful view

This beautiful view from the roof top
Well, not really beautiful
But, I wish
This time
I really want to see this with you


Sabtu, 21 Juli 2012

Jatinangor

Hari ini aku kembali
Aku mencarimu
Aku belum bertemu denganmu
Aku rindu padamu

Setiap hembusan angin di sini
Membisikkan namamu
Setiap sudut di tempat ini
Menampilkan bayangmu

Sayang, apa kabarmu?
Aku rindu padamu
Baru kali ini ku rasakan
Aku merindukanmu lebih
Lebih dari apapun

Bersamamu, saat kita tertawa
Saat aku menggenggam tanganmu
Menyentuh wajahmu
Kenangan

Jatinangor

Kamis, 10 Mei 2012

This is happy ending

Ya, ini yang terbaik
Ini sesuai rencana awal

Walaupun sempat keinginan berubah
Tapi memang ini yang awalnya diinginkan

Perasaan agak tertekan sempat datang
Menyesal, marah, sedih, ya perasaan-perasaan semacam itu

Setelah semua ini, setidaknya langkahku menjadi lebih ringan
Satu lembaran cerita berakhir, aku anggap ini berakhir bahagia

Berikan aku lembaran selanjutnya
Akan aku hadapi!

Senin, 09 April 2012

Cahaya - 3

Cahaya itu bukan untukku
Cahaya itu kini redup
Sama sekali redup

Sinarnya dulu hiasi hidupku
Temani hariku
Aku tak akan lupa sinarnya

Cahaya yang menyilaukan
Kadang membuatku menutup mata
Tapi aku selalu rindu sinarnya

Kini cahaya itu pergi
Terima kasih pernah menerangiku
Aku tak akan lupa sinarnya

Tak akan pernah lupa
Cahaya itu

Rabu, 04 April 2012

"My Story" By Isobel the Bachelorette

One day I happened upon a big book buried deep in the ground. I had been walking through the forest, searching for mandrake and the rare mushroom of everlasting love. Few books find their way to my part of the world so I picked it up and dusted the earth of its massive cover. From beneath the dirt appeared a faded photograph of a young woman.
The young woman was I.

Despite the alarming fact that my own image was on the cover, I clung to the hope that the book contained a tale of a knight in shining armour and a fair lady waiting to be rescued from a blackhearted ogre. I tried to picture myself on a dark winter’s night, sitting in front of the fire, immersed in an ancient adventure.  I opened the book, trembling with fear and excitement. The pages were blank.

I was about to cry out in a mixture of disappointment and relief when my gaze touched the paper where one would expect to find the first paragraph. To my surprise the book had started writing itself - as if by magick:

 “One day when I was walking through the forest, searching for mandrake and the rare mushroom of everlasting love, I happened upon a big book buried deep in the ground.
What it wrote was what I was doing there and then. It seemed to follow my every move. “Well,” I thought, “it’s an automatic diary. I guess that means it’s up to me to create the story as I go on living.” Deep down the thought saddened me. Who would ever want to go through page after page about someone like me? My life was so simple it would never make for a good read. But then a new sentence appeared: “I had to leave the forest.”

And another one: “I realised the book was not merely recounting what I did, it was telling me what I should do. It was time I left my house and started exploring the world.” I did exactly what the book told me to and the forest opened up to me like never before. It put on a great show of colours, movement and sounds - as if it wished to make sure it stayed rooted in my memory in all its dazzling beauty.Now, I was ready to leave.

I got on the train and was on my way to the city. The countryside disappeared in a flash. I sat in the compartment reading about my journey, the narration always being one step ahead of what was happening to me.  The train slid like a manic giant slug on its glistening tracks. The villages became towns, the towns became suburbs, the suburbs became the CITY.

Out the window I saw its skyscrapers grow from the horizon like giant fingers trying to poke holes in the firmament. As soon as the train pulled into the station and the busy crowd had pushed me out on the street, I consulted the book about what I was to do next. A sentence wrote itself out: “I explored the city like the forest before.” So, that is what I did.

Strangely enough the city did not scare me. The buildings reminded me of the tall pine trees of the forest; the light in the windows glimmered as the snow on their branches. The cars rushed along the streets like small animals busily preparing for the winter. And the neon lights? Well, they were my northern lights.

The days passed and the pages filled up with words. I followed the book’s writing like a recipe for an alchemist’s elixir of life. It had told me it was on this condition the next sentence would appear, and that if I did not respect the rule my beautiful adventure would vanish like a dream. It was an easy rule to obey. The book was taking me places beyond my imagination. I did whatever it asked of me.

But one thing had started to disturb me. The blank pages were becoming frightfully few. I could not but wonder how my story would end. I feared for the worst and started thinking about it day and night. Would I vanish? Or die?

I was seriously thinking about breaking up my relationship with the book when it came to my rescue. It spelled it out for me word by word. It had just been doing what all good books do; they create suspense in their last pages. I laughed out loud where I stood on the edge of a high rise in the city’s centre. To celebrate having regained my trust the book wrote on the top of the last page: “I took my story to Clark - publisher of fine books, on the corner of Easy Street and 23rd.”

I took my story to Clark - Publisher of Fine Books on the corner of Easy Street and 23rd.
Once in Clark’s humble office I handed him my book. He offered me a seat in a comfortable chair across his desk and I watched him read my story. I could see how the words moved him, how he responded to the events as if he was going through them himself. As his eyes glided down the last page the final sentence and conclusion to my tale appeared: “I knew my heart was his and that I would love him forever and ever … “
THE END

note: this is the story about the character in Björk's song "Bachelorette"
source: http://unit.bjork.com/specials/gh/SUB-05/index.htm

Selasa, 27 Maret 2012

That was so much fun, end of Java - Bali trip


Setelah sampe di Pelabuhan Ketapang kita dijemput papanya Tito, terus makan di warung nasi sebentar, baru balik ke rumah Tito. Sampe rumah Tito pada ngajakin nobar Manchester United vs. Liverpool, saya yang ga terlalu suka bola sih ngikut aja. Nobarnya di salah satu mal kecil di Banyuwangi, bareng temennya Tito, Axel. Pulangnya udah pada ngantuk langsung pada tidur, kecuali yang ga bisa tidur (lagi-lagi saya). Besoknya kereta jam 6 pagi udah berangkat dari Stasiun Karangasem Banyuwangi menuju Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Sampe di Lempuyangan sekitar jam 8 malem dan pas mau lanjut naik kereta api ekonomi ga taunya udah habis. Jadi deh kita jalan kaki ke Stasiun Tugu buat naik kereta bisnis. Kita yang nganggepnya liburan udah selesai jadi seneng lagi, lumayan jalan kaki di Jogja pada malam hari asik juga. Keretanya berangkat jam 11 malem jadi kita ada sekitar dua jam di Jogja. Di deket Stasiun Tugu kita makan nasi angkringan, murah dan kenyang. Sayang sih cuma bentar di Jogja, padahal kan pengen jalan-jalan dulu.

Perjalanan ke Bandung ga terasa, kebanyakan tidur karena udah pada cape, keretanya juga ga sumpek kayak ekonomi, ya lebih nyaman lah.. Akhirnya jam 8 pagi sampe Bandung, dijemput tetangganya Lucky dan langsung balik ke Jatinangor. Sampe Jatinangor pun saya tidur seharian, efek capeknya baru terasa. :)

Liburan kali ini asik banget. Semuanya have fun dan kita ga berhenti ketawa, kalo kata Ray mah ga perlu mushroom buat bikin mood kita naik. Walaupun sempet ada yang galau, bete, dan lain-lain, tapi semuanya malah bikin suasana jadi makin berkesan. Kapan lagi coba sekitar 10 hari bareng-bareng terus? Thanks Shanty yang suka marah-marah tapi tetep aja diceng-cengin,
Ray si big boss yang apa-apa nanyanya sama dia,
Rivan si empunya hajatan yang kerjaannya kalo ga telponan ya foto-foto sendirian,
Lucky si penunjuk jalan yang suka disangka turis Jepang,
Rifky si Mr. Galau yang biarpun lagi liburan tetep galau,
Mima si penyabar yang sabar banget sama kelakuan anak-anak yang lain,
dan Tito yang suka bikin gregetan tapi mau aja nampung kita semua!
Thanks juga temen-temennya Tito: Axel, Rama, Jedi, Ryan, Erwino, dan yang lain. That was so much fun!

Bali! Bali! Bali!

Hari Pertama
Penyebrangan dari Pelabuhan Ketapang ke Pelabuhan Gilimanuk makan waktu kira-kira 45 menit. Saya excited banget, apalagi pas Pulau Balinya sudah kelihatan dari atas kapal. Sampe Gilimanuk, saya dan Rifky, yang sama-sama baru pertama ke Bali, langsung girang, padahal mah masih juga di pelabuhan, sampe megang-megangin rumputnya malah. Norak dasar, hahaha. Walaupun sempet ada insiden saya kepeleset di tangga pas mau turun kapal tapi tetep girang. Setelah diperiksain KTP di pelabuhan kita lanjut naik bus ke Denpasar. Di bus saya suka banget, liatin hutan, monyet, sawah, kadang kelihatan pantai. Suasana religiusnya berasa banget, bahkan di busnya sempat berhenti dulu terus kaca depannya dicipratin air sementara sang supir ibadah dulu.

Di Denpasar kita diturunin di Terminal Ubung. Dari sana kita nyarter angkot menuju Kuta. Sampe Kuta, Tito dan Lucky nyari hotel sementara sisanya ke pantai sambil masih pada bawa ransel, hahaha. Kita nginep di salah satu hotel di Poppies Lane 2, harganya lumayan 90ribu berdua. Hotelnya adem, gak AC, tapi pake kipas angin yang berisiknya kayak helikopter. Di luarnya ada semacam pendopo gitu, sebenernya sih buat tempat makan tapi kita aja yang sok tau jadiin pendoponya tempat ngumpul, ngobrol-ngobrol, main kartu, hahaha. Setelah di hotel bagi kamar, mandi, dan istirahat, kita mulai omongin mau ke mana. Dan malemnya kita makan warung nasi di seberang hotel, muterin jalan Legian sambil foto-foto, terus duduk-duduk di depan convenient store sambil cemal-cemil sampe tengah malem. Ternyata jam 12an udah pada sepi. Di hotel sepi, ga ada sinyal pula. Saya sekamar sama Rivan, ya udah kita ngobrol-ngobrol, tau-tau udah tidur aja.







Hari kedua
Pada bangun siang. Jam 11an kita ke pantai. Si Ray dipijit, Lucky sama Mima foto-foto, Rifky sama Rivan tau-tau udah berenang aja. Saya sama Shanty di pinggir-pinggir aja celup kaki sambil main pasir. Tapi lama-lama, byurrr, saya ikutan berenang juga. Ombaknya deres, lagi berendem tau-tau keseret ombak ke pinggir, kaki sampe lecet-lecet kena pasir. Puas main di pantai kita balik ke hotel, sorenya ke pantai lagi, berenang lagi, kali ini ombaknya tenang, jadi enak deh, juga sekalian liat sunset. Terus malemnya pada mau ke klub, ya udah kita ke MBarGo akhirnya, lumayan free entrance dan minumnya buy 1 get 1 free. Sayangnya kita datengnya kecepetan, ada deh kita nunggu sejam dua jam sampe akhirnya rame dan have fun sampe malem.










Hari ketiga
Hari ketiga kita ngerental mobil. Wuh, si Rifky yang dasarnya hobi bawa mobil seneng banget, baru pertama ke Bali langsung nyobain jalanannya. Pertama-tama kita ke Erlangga di Denpasar, beli oleh-oleh. Tempatnya luas, isinya macem-macem mulai dari gantungan kunci sampe lukisan, harganya murah-murah pula walaupun ga bisa ditawar. Di Erlangga ketemuan sama Rama, anak Universitas Udayana temennya Tito, terus doi gabung sama kita soalnya dia yang tau jalan. Kita ke daerah Uluwatu, pertama ke Pantai Padang-Padang, sebenernya pantainya oke banget banyak batu-batu karangnya gitu, pasirnya juga halus, tapi sayangnya pas kita dateng kurang beruntung banyak tumbuhan laut sama sampah yang keseret ombak, udah gitu untuk menuju pantai ini mesti turun tangga sempit, capek hahaha.

Abis dari Pantai Padang-Padang kita menuju ke kawasan Pura Luhur Uluwatu yang ternyata letaknya paling ujung Barat Daya Pulau Bali. Tempatnya di pinggir tebing yang bawahnya langsung laut. Di sini banyak monyet dan sunsetnya oke banget. Pas masuk kita dipakein kain gitu. Sayangnya kita ga sempet ke pura-nya soalnya keburu malem. Di sini kita juga bisa ngeliat performance Tari Kecak, tapi kalo ga salah bayar 100.000 atau 150.000, mahal...... Pas pulang mampir dulu di warung nasi terus sampe hotel si Tito kedatengan temen-temennya. Sementara Tito sibuk sama temen-temennya saya dan yang lain ke KFC Kuta soalnya bosen juga dari kemarin makannya nasi bungkus melulu, plus Rivan yang ditelponin mulu sama mamanya disuruh makan enak sekali-sekali. Hahaha













Hari keempat
Lucky sama Mima pagi-pagi udah ilang, katanya sih lagi belanja. Itu berdua udah kayak ibu-ibu pejabat, kerjaannya belanja mulu. Rencananya hari keempat ini kita mau balik ke Banyuwangi tapi ternyata masih pada betah. Terus kita pindah hotel, patungannya cuma beda lima ribu sama yang pertama, sekamar berempat tapi kamarnya ada AC terus hotelnya ada kolam renangnya. Hari terakhir ini agendanya bebas... Mau tidur seharian, mau berenang, mau ke pantai, terserah. Siang-siang berenang di hotel terus sorenya leha-leha duduk-duduk di pantai. Pas di pantai kita bikin istana pasir, si Lucky jago banget bikinnya sampe diliatin orang-orang. Terus ga lupa kita nikmatin sunset sambil foto-foto kocak. Di hotel malemnya lagi enak-enak tidur tiba-tiba mati listrik, mana ada angin besar pula, dan katanya di pantai lagi pasang plus ombak gede. Jadi deh malem itu kita mati gaya. Udah seneng-seneng dapet kamar AC taunya mati listrik juga.







Hari kelima
Hari terakhir di Bali. Hotelnya masih mati listrik sampe siang. Hari terakhir ini ga ngapa-ngapain. Check out jam 11, terus dianter Mas Sigit, kenalan di pantai, dianter sampe Terminal Ubung, Denpasar. Sampe sana naik bus ke Gilimanuk lanjut naik kapal ke Pelabuhan Ketapang. And we say goodbye to Bali! Thank you the Island of God.

Journey To Bali

Di tengah-tengah liburan semester yang panjang ini tiba-tiba saya dikontak sama Shanty, temen sekelas, katanya anak-anak ngajakin liburan ke Surabaya sama Banyuwangi, di sana mau main ke rumah Dinar dan Tito yang rumahnya di dua kota tersebut, terus lanjut deh ke Bali. Awalnya saya males, yaaa kantong lagi tipis. Tapi saya dibilangin kalo kita jalan-jalannya jalan-jalan hemat, backpackeran, ngeteng pula. Ya udah deh akhirnya saya mau ikutan.

Yang ikut liburan saya, Rivan, Shanty, Ray, Rifky, Lucky, dan Mima, pacarnya Lucky. Semuanya anak Antropologi Unpad 2010 kecuali Rifky sama Mima. Berangkatnya tanggal 20 Januari dari Jatinangor. Tanggal 19 gw balik ke Jatinangor, setelah malemnya ngumpul dulu ngomongin berangkat, besoknya subuh-subuh dianterin sama orangtua Lucky ke Stasiun Kiaracondong Bandung. Dari sana naik kereta ekonomi ke Surabaya. Ini pertama kali saya naik kereta setelah terakhir waktu SD, hahaha. 17 jam naik kereta ekonomi sensasinya emang beda, yang biasanya gw kalo perjalanan panjang naik bus AC yang bisa leha-leha selama perjalanan, kalo naik kereta ekonomi boro-boro deh... Awalnya emang asik, kita pada norak ngeliatin pemandangan tapi lama-lama mulai kepanasan, keretanya berhenti melulu, duduk sempit-sempitan, kadang kita ganti-gantian ngalah supaya ada yg bisa ngelurusin kaki. Dan yang paling bikin gak tahan itu pedagang asongannya, segala macem barang didagangin mulai dari makanan, buku, sampe jasa cek tensi darah. Baru mau tidur tau-tau ada aja yang ngelemparin barang dagangannya, kalo pun ga dilemparin itu pedagang teriak-teriak kenceng banget berasa di pinggir kuping, lewat satu pedagang dateng pedagang lainnya, gak putus-putus deh.

Biar pun berisik, panas, dan berhenti-berhenti mulu tapi keretanya tepat waktu. Jam 11 malem kita sampe di Stasiun Wonokromo Surabaya. Sampe Surabaya rupanya Dinar yang rumahnya di sana ga bisa ketemuan jadilah kita bingung mau ke mana, kereta ke tujuan selanjutnya, Banyuwangi, masih besok siangnya. Tadinya rencana mau tidur di stasiun tapi untungnya si Rivan udah ngehubungin budhe-nya dan kita dibolehin nginep. Rumah budhe-nya Rivan ada di daerah Rewwin, Sidoarjo. Dari stasiun naik mobil elf, setelah muter-muter akhirnya diturunin di seberang Terminal Bungurasih/Purabaya. Jalanan Surabaya emang ngebingungin, jalannya besar-besar dan belok-belok, tau-tau masuk jalan tol, tau-tau ada di terminal, tau-tau udah ada di Sidoarjo zzzz.... Tapi saya suka kotanya, bersih, jalanannya rapi, ga sumpek deh.

Setelah diturunin dari mobil elf kata tukang becak dari sana jalan lurus aja sekitar 3 kilometer. Setelah jalan lama kok rasanya gak nyampe-nyampe? Ternyata ke rumah budhenya Rivan masih 7 kilometer lagi. Hahaha buset, 3 kilometer rasa 7 kilometer ini mah. Selama perjalanan ekspresinya pada macem-macem, ada yang pasang muka bete, nahan buang air, kecapean abis perjalanan jauh, ada juga yang selow-selow aja kayak saya hehehe. Pas nyampe di rumah budhe Endang, budhenya Rivan, langsung deh semua pada melaksanakan hasrat terpendam, ada yang langsung ke kamar mandi, rebahan, ngadepin kipas angin, yang laper keluar beli makanan hahaha. Terus tidur deh... Budhe Endang baik banget, orangnya ramah, pagi-pagi kita dimasakkin makanan, siangnya malah mau dibawain bekal buat di jalan tapi akhirnya dimakanin di rumah.

Dari Sidoarjo kita naik bus ke Banyuwangi dari Terminal Bungurasih/Purabaya. Tadinya mau naik kereta tapi kehabisan tiket jadi kita naik bus. Di jalan pas lewat Porong (pas banget sebelah tanggul lumpur Lapindo) busnya nyerempet motor, kena macet di Probolinggo, terus busnya pake acara pecah ban, jadi kita mesti nunggu bannya diganti, setelah diganti ternyata busnya gak kuat jadi kita dioper ke bus lain, dan di bus lain itu kita berdiri, ga dapet tempat duduk. Perjalanan ke Banyuwangi yang katanya 5 jam jadi memakan waktu sampe hampir 10 jam.

Sampe Banyuwangi kita dijemput Tito dan langsung ke rumahnya. Berhubung udah malem dan udah pada cape jadi deh sampe rumahnya langsung pada tepar. Di Banyuwangi kita 3 hari. Hari pertama kita istirahat terus ke Perkebunan Kalibendo bareng temennya Tito: Jedi dan Erwino. Di sana ada sungai kecil gitu yang lumayan deras. Di sana kita cebar-cebur lumayan lama. Tadinya saya ga niat berenang, cuma celup-celup kaki aja, tapi berhubung kepeleset ke air ya udah lanjut deh berenang, pas disuruh lompat dari batu pinggir sungai gw ga mau, haha cupu abis ya. Terus si Ray pantatnya kepentok batu, jadilah doi beberapa hari ke depan ngeluh pantatnya kesakitan. Abis dari Kalibendo kita makan bakso lanjut jalan-jalan keliling Banyuwangi terus mampir ke alun-alun. Alun-alunnya bersih dan teratur, suasananya hidup banget. Tempatnya rame sama anak muda dan keluarga pada kongkow-kongkow. Kita foto-foto di sana terus nyobain jalan setapak berbatu-batu buat refleksi. Hari kedua kita ke pantai di Banyuwangi yang menghadap ke selat Bali, masih sama temennya Tito, kali ini Erwino dan Ryan. Pantainya pantai batu gitu, bukan buat berenang. Dari pantai itu bisa keliatan Pulau Bali. Di sana ada saung-saung gitu buat duduk-duduk tapi berhubung pas nyampe taunya hujan, jadi deh kita duduk di dalem tenda terpal, makan es kelapa, makan bakso, sambil ngeliatin hujan di pantai. Besok paginya kita dianterin papanya Tito ke Pelabuhan Ketapang.








Kesan saya di Jawa Timur adalah orangnya baik-baik. Waktu perjalanan ke rumah budhenya Rivan di Sidoarjo cuma niat nanya doang sama bapak-bapak taunya malah salah satu dari kita dianterin pake motor, di bus menuju Banyuwangi keneknya biarpun garang tapi ramah, sepanjang jalan ngelawak terus sampe penumpangnya ketawa-ketawa, saya sih ga ngerti bahasanya tetep senyum-senyum aja, belum lagi budhenya Rivan, keluarga sama temen-temen Tito, baik banget semuanya. Nice! Lalu next destination, Bali!

Kamis, 08 Maret 2012

Hikari

No matter what the time
We will always be together
No matter what the time
Because you are by my side

The light known as "you" finds me
In the middle of the night

(Utada Hikaru - Light)


(Photo by sxc.hu)

Selasa, 21 Februari 2012

Cahaya - 2

Kau lah cahaya itu
Seiring waktu
Sinarmu semakin terang

Kau sinari aku dengan cahayamu
Kau membuatku yang lupa cara untuk tersenyum... Tersenyum.

Aku tersenyum untukmu
Kau lah cahaya itu

Minggu, 12 Februari 2012

Menyusuri Sungai Musi Menuju Pulau Kemaro

Pulau Kemaro merupakan salah satu delta/pulau di Sungai Musi yang masih masuk dalam wilayah Kota Palembang. Pulau Kemaro terkenal dengan legenda tentang kisah percintaan seorang putri raja dan saudagar asal Tiongkok, orang banyak datang ke sini untuk ziarah atau beribadah. Di pulau ini terdapat klenteng dan pagoda untuk tempat peribadatan, biasanya ramai saat suasana imlek atau Cap Go Meh. Pulau ini dinamai Pulau Kemaro karena konon pulau ini tidak pernah terendam air, bahkan saat Sungai Musi pasang tinggi sekalipun. Dari dulu ingin ke sini tapi selalu tertunda. Untungnya liburan kemarin bisa ke sini bersama teman-teman SMA.

Untuk menuju Pulau Kemaro biasanya naik perahu getek dari Benteng Kuto Besak atau dari bawah Jembatan Ampera, ada juga lewat kapal cepat berAC yang namanya bus air Transmusi, harganya murah tapi kurang sosialisasi dan ketika di sana juga tidak tampak armadanya. Begitu kami datang para calo getek langsung mendatangi kami. Mereka nyolot abis dan mengikuti kemana kami pergi, sudah itu mereka kasih harga mahal. Karena memang agak susah nyari getek khusus buat transportasi umum dan yang bener-bener tidak lewat jasa calo akhirnya kami menawar harga ke salah satu calo. Kami menawar sampai hampir setengahnya dan dia setuju, tapi harga segitu masih mahal sih bagi saya. Setelah deal kami diantar ke geteknya, dan ternyata getek yang kami sewa adalah getek ukuran besar, padahal kami cuma berenam, mubazir kan jadinya. -__-


Perahu getek berangkat melintasi Sungai Musi. Perjalanan ke Pulau Kemaro memakan waktu sekitar setengah jam. Perjalanannya menyenangkan walaupun panas sekali mataharinya. Sepanjang jalan saya asyik memperhatikan aktivitas warga di pinggir sungai, ada yang bongkar muat barang, ada yang lagi santai di rumahnya di pinggir sungai, ada yang mandi juga hehe. Selain rumah warga ada juga pabrik PUSRI, pasar, masjid, bahkan ada kantor polisi sama SPBU terapung. Di sungainya sendiri banyak kapal-kapal besar macam kapal batubara, kapal milik PUSRI, perahu-perahu sama getek lain juga banyak, entah mengangkut barang atau mengangkut orang.

Setelah sampai di Pulau Kemaro ternyata sepi sekali, tidak ada pengunjung lain selain kami berenam. Tapi di sana banyak pekerja lagi memasang lampion, bikin stand, mengecat, dan juga pengerjaan lain untuk menyambut imlek. Jadi intinya kami datang terlalu cepat, padahal pulau baru ramai kira-kira seminggu lagi. Berhubung tidak banyak yang bisa dilakukan di sana kita hanya berkeliling saja di sana, apalagi di sana tidak ada petugas atau guide khusus pengunjung. Di sisi barat komplek terdapat wihara yang di dalamnya terdapat makam putri raja yang terdapat dalam legenda, Siti Fatimah. Di sekitar wihara terdapat tempat-tempat ibadah yang terpisah dari bangunan utama selain itu juga terdapat batu yang bertuliskan legenda Pulau Kemaro. Di bagian timur komplek terdapat pagoda tujuh lantai, patung Buddha, selain itu juga terdapat ukiran yang bergambar dewa-dewi dan shio-shio dalam budaya Tiongkok. Yang menarik di bagian ini adalah terdapat pohon yang dinamakan Pohon Cinta, konon katanya jika sepasang kekasih datang kemari dan menuliskan nama mereka di pohon tersebut maka cintanya akan abadi, so sweet kan? Tapi sekarang pohon tersebut sudah dipagar dan yang saya lihat pengunjung banyak menuliskan nama mereka di pagar kayu tersebut.

Pulau Kemaro sebenarnya tujuan wisata yang cukup menarik di Palembang. Namun sayangnya seperti kebanyakan tempat wisata sejarah atau alam di Palembang, keberadaanya kurang terawat dan kurang diperhatikan, hanya pada event-event tertentu saja. Minimnya informasi dan akses menuju lokasi juga menjadi nilai minus Pulau Kemaro.
Tips:
1. Waktu yang tepat untuk ke Pulau Kemaro adalah sore hari, karena kalo siang panassss banget. Selain itu kalau sore-sore Sungai Musi-nya juga lebih ramai jadi lebih menarik.
2. Kalau terpaksa menggunakan jasa calo, tawar sampai setengah harganya. Tanya terlebih dahulu perahunya seperti apa, sesuai tidak sama kebutuhan. Intinya sih cari tahu dulu mau naik apa, jangan begitu datang langsung tertarik sama penawaran calo.
3. Bawa minum! Karena di sana kalau hari biasa warung hanya ada dua dan harganya muahallll.
4. Pulau Kemaro itu tempat peribadatan jadi jaga sikap dan tanya-tanya sama pengurus klenteng kalau saja ada tempat yang ga boleh difoto.
5. Jagalah kebersihan.